Rabu, 14 Maret 2012

Dad, Promise me that we'll always be together...

Sudah dari semalam, aku merasakan home-sick. Ya, kau tahu. Perasaan rindu dengan suasana rumah, khususnya rindu dengan keluarga. Aku memang tidak tinggal dengan orang tua ku lagi. Sekarang, di Sekolah menengah atas ini aku duduk di sekolah yang menerapkan boarding-school, sekolah asrama.Meskipun, sebelumnya saat SMP, aku memang sudah tidak tinggal serumah lagi dengan mereka. Aku tinggal di rumah tanteku, di kota. Sementara itu, mereka, kedua orang tuaku, memiliki tanggung jawab pekerjaan di suatu desa. Tidak begitu jauh dari kota.

Di telepon, kami berbicara cukup banyak. Sambil air mata yang sedikit bercucuran. Aku menyendiri di sudut yang memiliki penerangan yang kurang. Duduk di atas ubin yang putih dan bersih akan tetapi selalu dingin. Suara orang tuaku melalui gelombang elektromagnetik itu tidak begitu jelas namun aku masih bisa mendengar nya dengan begitu baik. Berbeda dengan mereka yang kadang-kadang meminta aku untuk mengulangi pertanyaanku.

Aku mengeluh begitu banyak. Aku bercerita sangat banyak. Mereka begitu mendengarkan. Mereka mengiyakan. Mereka bertanya. Mereka menentangku. Mereka memperbaiki jalan pikiranku. Mereka mengingatkanku akan tujuanku. Mereka mewanti-wanti. Mereka menyayangiku.

Yah, semalam aku menangis. Sedikit saja, tidak dapat kukatakan demikian. Banyak, terlalu berlebihan kau pikir nanti. Hanya saja, memang. Semalam aku merasakan begitu besarnya kasih sayang orang tuaku kepadaku. 

Aku sama sekali tidak menyadari bahwa dini hari itu juga, Ayahku. Telah menginjakkan umurnya di 43 tahun. Dia semakin tua. Itu yang ku tahu. Kemudian, aku berpikir lebih dalam lagi. Waktuku bersamanya berkurang satu tahun lagi dan aku tidak tahu kapan waktu itu akan habis.

Keesokannya, pagi ini. Aku terlambat bangun. Pikiran ku semua tertuju bagaimana caranya aku dapat sampai ke sekolah dengan tepat waktu. Memang, sempat terpikir olehku untuk segera menelpon Ayah. Mengucapkan selamat ulang tahun untuknya. Namun, tidak sempat pikirku. Aku juga takut. Dia akan berpikir kalau aku melupakan hari ulang tahunnya. Aku takut.

Akhirnya, setelah jam pelajaran selesai. Aku menelpon Ayah. Dia tidak mengangkatnya. Aku coba lagi, dia masih saja belum mengangkatnya. Mungkin dia sedang sibuk. Atau dia, seperti kebiasaannya ketika sedang keluar rumah untuk sebentar saja, meninggalkan hapenya di jendela rumah.

Kemudian, aku melihat list called. Ada sau panggilan tidak terjawab darinya. Aku segera menelponnya. Segera ku memberi salam untuknya, dia menanyakan mengapa aku menelponnya. Menanyakan ada apa yang terjadi. Nada suaranya terdengar dia agak risau. Aku mengucapkan selamat ulang tahun untuknya. Menguntaikan doa-doa kecil. Mengucapkan banyak kata sayang. Jujur, aku tidak pernah begini sebelumnya. 

Terima kasih dia ucapkan untuk ku. Harapan-harapannya padaku juga ia ikut sampaikan. Doa-doanya yang ku tahu tidak akan pernah putus. Lagi, air mata ku menyesak untuk keluar. Aku menahannya.

Sesudah itu, terbaring aku diatas tempa tidur ku yang sangat sederhana. Membayangkan hal-hal apa yang telah kulakukan bersama Ayah. Sejak dulu hingga sekarang.

Dulu, ketika aku masih sangat belia. Ayah yang belum punya kendaraan pribadi sendiri seringkali mengajak ku ke kantornya yang bisa kubilang cukup memakan waktu. Sambil menunggu kendaraan, kami menikmati sarapan dulu. Katanya, aku sering meminta tambah porsi waktu itu dan akan berhenti ketika aku benar-benar akan muntah. Pertama kali aku mendengarnya itu dari Ayah, aku hanya memukul-mukul kecil dirinya dan merengek sedikit. Dia hanya tertawa. Setelah itu, aku ingat ketika ia membelikanku makanan kecil apa saja yang kuinginkan. Kembali, aku akan berhenti ketika benar-benar ingin muntah.

Aku ingat, ketika dia tersenyum bangga melihatku, lari-lari kecil kembali dari sekolah membawa rapor dan memberitahunya bahwa aku berhasil mempertahankan peringkatku dan ketika aku meminta maaf karena nilaiku yang ternyata menurun, dia menasihatiku dan tetap memberikan spirit yang begitu besar.

Sewaktu masih belum mengerti terlalu banyak, aku dan Ayah sering bertengkar dengan Ayah karena Ayah tidak mau membelikan barang apa yang aku inginkan. Lalu, aku kemudian berlari masuk ke kamar dan menutup pintu dengan keras. Dan, ketika aku telah beranjak remaja, aku dan Ayah terkadang masih sering bertengkar namun kali ini berbeda. Aku tidak merengek lagi dibelikan sesuatu yang tidak begitu penting bagiku. Aku mulai tahu, yang mana yang kuperlukan dan mana yang hanya sekedar untuk kesenanganku belaka. Aku bertengkar dengannya, karena pemikiranku dan pemikirannya yang sering bertentangan. Ia memintaku untuk melakukan sesuatu tetapi hatiku bergejolak mengatakan bahwa hal itu tidak sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran ku. Menentangnya, atau kemudian menangis di hadapannya. Raut wajahnya sepertinya tidak tega melihatku. Tapi nada bicaranya yang begitu tegas, mengisyaratkan bahwa semua ini dia lakukan hanya untuk kebaikanku saja.

Teringat juga kejadian dimana ketika aku, Ayah dan adikku menuju suatu restoran dan dengan segala ke-sok tahu-an ku memesan makanan yang betul-betul berbeda dengan selara kami. Alhasil, kami pulang dengan perasaan tidak puas.

Larangan-larangan Ayah yang menurutku berlebihan, bahkan sampai sekarang masih terus ia katakan sangatlah banyak. Tidak boleh minum es. Tidak boleh sering-sering makan mie instant. Terasa sangat sepele namun ketika dampaknya terjadi padaku, ia begitu gusar.

Ketika, aku sedang sakit. Lalu, Ibu sedang tidak berada di rumah, ia terlihat sangat gusar.Menelepon Ibu untuk segera pulang. Mengecek suhu badanku. Semua yang dilakukan terlihat sangat kaku namun terlihat tulus dari dalam lubuk hatinya.

Tuhan, aku menyadari bahwa semuanya tidak ada yang abadi bahkan aku. Mungkin saja, setelah ini, aku menuju ranjangku untuk tidur, aku tak akan membuka mata lagi keesokan harinya sampai nanti pada hari penghitungan. Begitu juga waktuku dengan Ayahku, dengan kedua Orang tuaku.

Tuhan, ku mohon pada-Mu. Jangan sampai aku dibuat menyesal karena tidak dapat menikmati seluruh waktu terbaikku bersama Ayah. Jangan sampai Ayah pergi dengan merasa kesepian tanpa ku.

Tuhan, sejujurnya aku sangat takut, masih sangat takut. Tuhan, aku belum siap ketika waktunya itu benar-benar datang...

Dan, untuk Ayah... Berjanjilah padaku bahwa kita akan selalu bersama.